Oleh : Muhammad Hakim Rianta
Kader HMI Komisariat Insan Cita Pasarwajo
Lagi-lagi mimbar demokrasi kita kembali dihebohkan oleh hiruk-pikuk kobaran semangat mahasiswa yang tergabung dalam aliansi maupun organisasi kemahasiswaan. Bukan tanpa sebab, gerakan yang terorganisir dan tersentral secara nasional tersebut merupakan reaksi atas berbagai kebijakan hingga isu kontroversial yang bersumber dari Pemerintah Pusat.
Sebagaimana diketahui, kebijakan dan isu kontroversi tersebut diantaranya adalah berkenaan dengan kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax dan Pertamax Turbo, kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, kenaikan pajak PPN sebesar 11% hingga pada isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi 3 periode. Sekelumit isu itulah yang menjadi akar bagi tumbuh suburnya semangat mahasiswa untuk melakukan gerakan aksi pada 11 April 2022.
Namun tulisan ini tidak akan berfokus pada pembahasan mengenai isu yang melandasi gerakan aksi mahasiswa. Melainkan terfokus pada fenomena gerakan yang diprakarsai oleh mahasiswa dalam menjalankan fungsinya dimasyarakat sebagai agen of social control dan agen of change.
BACA JUGA:
Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa
Aksi gerakan mahasiswa di Indonesia bukan kali pertamanya dilakukan. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, para mahasiswa sebagai kaum intelegensia telah berembuk, berpikir dan melakukan gerak aksi menuntut pembebasan terhadap penindasan masyarakat Indonesia atas penjajahan.
Secara historis, gerakan mahasiswa dari masa ke masa terbagi menjadi dua periodisasi yaitu periode Pra-kemerdekaan dan periode Pasca-kemerdekaan.
Pada periode Pra-kemerdekaan, gerakan mahasiswa terbagi ke dalam tiga fase yakni fase perintis untuk tahun 1908 ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo, fase penggerak untuk tahun 1928 ditandai dengan Soempah Pemoeda serta fase perjuangan untuk tahun 1945 ditandai dengan diraihnya Kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya pada periode Pasca-kemerdekaan, gerakan mahasiswa terbagi juga menjadi tiga fase yakni gerakan mahasiswa (germa) tahun 1966 merupakan gerakan yang dibangun ditengah pergulatan elite politik, mahasiswa melakukan protes dengan tuntutan ‘Tritura’ yakni pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Perombakan Kabinet Dwikora, serta turunkan harga pangan. Lalu gerakan mahasiswa (germa) tahun 1974 ditandai oleh Peristiwa Malari yang merupakan aksi demonstrasi yang berujung pada kerusuhan besar. Peristiwa ini berawal dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia dan juga kisruh investasi asing.
Selanjutnya, gerakan mahasiswa (germa) tahun 1998 yang merupakan puncak gerakan yang mengawali lahirnya Reformasi dan mengakhiri rezim pemerintahan otoritarian Orde Baru. Gerakan ini didasari atas beberapa keresahan yakni Krisis moneter, inflasi, nilai tukar rupiah terjun bebas, pengangguran, kenaikan harga tak terkendali, serta korupsi yang merajalela.
Sederet catatan gemilang sejarah pergerakan mahasiswa di atas menunjukan bahwa mahasiswa memiliki peran aktif dan penting dalam melakukan dan menginisiasi perubahan sosial dalam masyarakat serta menjadi kekuatan penyeimbang dalam mengontrol setiap langkah dan kebijakan pemerintah.
Orientasi Pergerakan Mahasiswa, Idealisme vs Pragmatisme
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pengaruh globalisasi, sulit untuk mengulang kembali romantisme sejarah pergerakan mahasiswa di masa lalu yang sarat akan kepentingan umum. Hal ini karena orientasi gerakan mahasiswa (germawa) semakin lama semakin menuju ke arah regresi. Bagaimana tidak? Pergerakan yang dilandasi nilai idealisme telah dipertentangkan dengan kebutuhan pragmatisme sehingga orientasi pergerakan tereduksi menjadi budaya hedon untuk memenuhi hasrat kepentingan pribadi dan kelompok. Parahnya, terkadang mahasiswa secara sadar tereduksi dalam politik praktis yang menggerus nilai idealismenya. Kondisi tersebut diperparah dengan menghilangnya fungsi mahasiswa sebagai agen pembaharu, miskin inovasi dalam berkontribusi.
Beruntungnya, kondisi tersebut di atas terbantahkan oleh gerakan mahasiswa yang dibangun dengan formula baru. Marwah mahasiswa sebagai ekstra parlementer dan pemegang idealisme murni telah kembali pada orbitnya. Hal ini ditandai dengan banyaknya gerakan mahasiswa yang timbul dari aspirasi masyarakat. Gerakan mahasiswa pun mulai beragam tidak hanya melalui demonstrasi di jalanan tetapi teraktualisasi dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat berdasarkan keilmuan yang telah dikuasai. Sekarang tugas kita adalah menjaga dan menumbuh kembangkan formula itu sebagai wujud implementasi dari fungsi mahasiswa.