Postingan
Tim Redaksi
09 Desember 2021 | 15:22PM

Secarik Catatan di Hari Antikorupsi Sedunia

butonsatu.com

Oleh : Muhammad Hakim Rianta

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

Dewasa ini kita dihebohkan dengan beragam kasus korupsi yang menimpa petinggi dan pejabat negara, ironisnya bahkan tindakan tersebut dilakukan meskipun negara sedang berada dalam keadaan yang tidak stabil akibat serangan Pandemi Covid-19.

Sebut saja kasus yang menimpa Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, Juliari Batubara yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19.

Tak berselang lama kemudian, mencuat pula kasus korupsi pengelolaan dana PT. Asabri oleh Heru Hidayat yang juga seorang terpidana seumur hidup pada kasus Jiwasraya, dengan nominal fantastis mencapai Rp12 Triliun dan merugikan keuangan negara senilai Rp22 Triliun.

Sederet fakta hitam tersebut diatas tentu melahirkan kecaman dari berbagai pihak lebih khusus dari masyarakat yang bahkan menilai bahwa korupsi sudah semakin membudaya dalam tubuh pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan. Padahal, kepercayaan publik merupakan variabel terpenting dari terwujudnya konsep Good Governance.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan soal korupsi yang tak kunjung selesai ini, banyak opini yang dikembangkan dan beredar di masyarakat salah satunya adalah penerapan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Desakan hukuman mati untuk para koruptor tersebut tidak lahir begitu saja secara spontanitas melainkan merupakan sebuah respon atas ringannya sanksi hukuman yang sangat tidak sesuai untuk suatu kejahatan yang tergolong sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Baca Juga: Hari Sumpah Pemuda: Mengembalikan Idealisme Pemuda di Era Disrupsi 4.0

Meskipun hukuman mati telah diatur ketentuannya dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pada penerapannya dilakukan dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) yaitu "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Ini berarti bahwa penggunaan pasalnya tidak bisa diterapkan sembarangan, maka tak heran pidana mati belum pernah dijatuhkan dalam putusan perkara korupsi yang menggunakan undang-undang ini.

Oleh karena lemahnya pengaturan sanksi bagi para pelaku tindak pidana korupsi tersebut justru membuka keran bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan situasi dalam melancarkan aksi korupsi memperkaya diri maupun kelompok sehingga mempertahankan stigma "budaya korupsi" yang telah bersarang dalam mindset masyarakat. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa dan bukan merupakan budaya kita yang sangat anti korupsi.

Selain dengan memperberat sanksi, sebenarnya terdapat banyak upaya lain sebagai alternatif untuk menghindari perilaku koruptif diantaranya adalah dengan menjadi atau memilih pemimpin yang berintegritas, memanfaatkan teknologi sebagai sistem pencegahan korupsi serta dengan memperkokoh bangunan pendidikan moral sejak dini.

Oleh sebab itu, momentum Hari Anti Korupsi ini sudah seyogyanya kita manfaatkan untuk mempertegas sikap kita dalam melawan perilaku korupsi dengan menanamkan dan membangun sikap anti korupsi melalui pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila.

Artikel Terkait
Artikel Terkini

ARTIKEL POPULER