Oleh: Cendraman

Ketua GP Ansor Kabupaten Buton


BUTON, BUTONSATU.com -  Perencanaan kota baru Kabupaten Buton yang akan dibangun di sekitar bukit wilayah administrasi kelurahan Kambula-mbulana Kecamatan Pasarwajo (belakang Kantor Bupati lama) dengan perkiraan anggaran pembangunan jalan dan perumahan mencapai 900 Miliar berjalan tanpa melalui konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Disebutkan dalam pasal 19 bahwa konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak.

Sampai saat ini, yang penulis ketahui, pemerintah daerah belum melakukan konsultasi publik terkait perencanaan sebagaimana diperintahkan dalam Undang-Undang tersebut diatas.

Dalam pasal 21 disebutkan apabila sampai dengan jangka waktu 60 hari pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana pembangunan, dilaksanakan konsultasi publik ulang dengan pihak yang keberatan.

Masalahnya adalah para pihak ini baru satu kali diundang dalam musyawarah bersama pemerintah kecamatan dan juga dimediasi oleh pemerintah daerah kabupaten Buton tetapi berujung tanpa kesepakatan.

Masyarakat yang lahannya telah digusur saat ini akhirnya menuntut ganti rugi kepada pemerintah daerah.

Dalam pasal 27 bahwa beralihnya hak (dari pemilik lahan kepada instansi yang butuh lahan) dilakukan dengan memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai pengumuman penetapan lokasi.

Menurut PMDN Nomor 15 tahun 1975, pembebasan lahan hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan menyangkut baik teknis dan pelaksanaannya maupun mengenai besar dan bentuk ganti ruginya. Kesepakatan dilakukan secara musyawarah. Apabila upaya pembebasan lahan menurut prosedur tersebut tidak dicapai maka dapat ditempuh prosedur pencabutan hak seperti diatur dalam undang-undang no 20 tahun 1961 dengan ketentuan keperluan atas tanah itu sangat mendesak (Jurnal Belom Bahadat: Volume III No.2, I Komang Darman "Mekanisme Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah, 2018).

Baca Juga: Ratusan Warga Turun ke Jalan, Tolak Relokasi Pemukiman Pesisir Pantai Kambula-bulana

Padahal pemerintah daerah dapat menempuh prosedur hukum yang baik untuk kepentingan umum. Namun, apakah kota baru itu adalah hal yang mendesak bagi masyarakat?. Sepertinya belum dan memang tidak.

Hal ini terkesan diabaikan oleh pemerintah daerah provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya Pemda Kabupaten Buton dimana masyarakatnya sendiri yang menjadi korban atas hasrat berkota yang sejatinya dapat dimusyawarahkan dalam konteks progresivitas daerah.

Pasalnya, pihak pemerintah daerah lebih memilih hibah dari tanah adat (yang masih debatable dasar hukumnya) daripada bermusyawarah dengan masyarakat yang nyata mengelola lahannya selama bertahun-tahun.

Justru yang terjadi, masyarakat kita menjadi tumbal atas nafsu pembangunan kota yang sebenarnya juga belum menjadi 'demand' saat ini di tengah ekonomi rakyat menjerit. Selain itu, perencanaan kota baru ini, menurut penulis cenderung dipaksakan dan ambisius tanpa melihat dampak bagi warga yang tanahnya terkena lokasi pembangunan jalan.

Mengapa demikian? Karena tanah yang digarap oleh masyarakat itu adalah sumber kehidupan yang menjadikan anak cucu mereka bertahan hidup hingga saat ini.

Menurut informasi, lokasi lahan pembangunan kota baru memiliki luas 25 hektar yang masuk wilayah administrasi kelurahan kambula mbulana kecamatan Pasarwajo yang dihibahkan oleh tokoh masyarakat Pasarwajo (Sara Pasarwajo) kepada pemerintah daerah provinsi Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton yang sampai hari ini juga belum diketahui dimana tapal batas. Seperti batas antara Pasarwajo dan Lapodi, serta Surat Keputusan penetapan lokasi lahan pembangunan yang belum jelas.

Artinya, pemerintah daerah memiliki kecenderungan menutup nutupi perencanaan ini tanpa sepengetahuan masyarakat umum.

Apakah kota baru ini hanya untuk elit pemerintah daerah atau memang masyarakat hanyalah 'sapi perah' di tengah ketidaktahuan mereka soal hukum pengadaan tanah sehingga pemerintah daerah tega memanfaatkannya demi hasrat pembangunan yang belum mendesak?

Ada beberapa hal yang patut dicatat dalam perencanaan kota baru ini, pertama tidak adanya keterbukaan informasi publik, kedua tidak adanya musyawarah ganti kerugian bagi pemilik lahan yang terkena titik pembangunan, ketiga tidak adanya inisiatif pemerintah daerah kabupaten Buton melakukan mediasi kembali bagi masyarakat yang menolak lahannya digusur, keempat pembangunan ini belum mendesak, tetapi didesak.