Oleh, Muhammad Risman,
Ketua Forum Komunikasi Pemuda (FKP)
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Belakangan ini, ada beberapa media mengabarkan hasil pertemuan antara pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, yang dipimpin langsung oleh Ketua DPD-RI, LaNyalla Mattalitti melakukan rapat konsultasi bersama Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma’aruf Amin, selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD).
LaNyalla melaporkan sejumlah wilayah yang dinilai DPD layak untuk menjadi provinsi, selain Papua. Dari hasil kajian dan aspirasi yang diterima DPD, empat provinsi baru yang layak mendapat perhatian pemerintah adalah Provinsi Kapuas Raya di Kalimantan Barat, Provinsi Bolaang Mongondow Raya di Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Tapanuli Raya di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Madura di Provinsi Jawa Timur, kata LaNyalla dalam rapat konsultasi bersama Wapres KH Ma’aruf Amin di Istana Wapres, Jakarta, Kamis (3/12/2020) siang, seperti dikutip dari GoNEWS.co.
Secara umum pembentukan otonomi daerah merupakan semangat reformasi 1998, yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Orde Baru. Sehingga secara dramatis sejak perisitwa ‘98, perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi terus didengungkan.
Seperti yang pernah penulis sampaikan dalam beberapa opini sebelumnya terkait ini, bahwa sistem pemerintahan tersebut telah berimbas pada ‘trend’ pemekaran daerah. Isu pemekaran daerah semakin menguat sejak disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”.
Dalam konteks desentralisasi tersebut, pemerintah memberikan otonomi daerah seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah pusat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
Sebagai peraturan pelaksana dari UU No 22 Tahun 1999 terutama mengenai pemekaran daerah, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan, Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Fonemena pemekaran daerah semakin menarik dengan munculnya keterlibatan para elite politik di tingkat pusat dalam mengangkat isu tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui mekanisme partai maupun kolaborasi politiknya.
Kemudian saat ini karena pembentukan daerah otonom, sesuai pasal 33 – 43 dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebelumnya harus menjadi daerah persiapan selama 3 (tiga) tahun. Pada akhir masa daerah persiapan, akan ada evaluasi lagi oleh Pemerintah bersama DPR jika layak, daerah bisa menjadi Daerah Otonom, tetapi jika sebaliknya, daerah persiapan dikembalikan ke daerah induk.
Berdasarkan itu, lebih mengharapkan kepada Pemprov Sultra mengarahkan program pembangunan diwilayah Kepton kedepan, agar menjemput persiapan Daerah Otonom sangat terbuka dan seharusnya menjadi tuntutan dasar. Tetapi, arah pembangunan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, sejauh ini belum terlihat nampak.
LaNyalla, Ketua DPD-RI mengatakan pada pertemuan dengan Wapres membahas usulan pembentukan provinsi baru, bahwa sebagian besar Daerah Otonom Baru (DOB), PAD-nya habis bahkan tak cukup untuk membiayai organisasi baru itu, apalagi untuk belanja infrastruktur, pelayanan pendidikan, kesehatan, pengairan dan lain-lain untuk produksi ekonomi. jika yang menikmati hanya elite bukan rakyat, tentu itu bukan tujuan DOB.
Kata mantan Ketum PSSI ini, pemekaran wilayah harus dilakukan secara selektif dan harus berdasarkan kebutuhan teknis managerial untuk peningkatan pelayanan dan percepatan pembangunan, seperti dikutip dari GoNEWS.co.
Jika berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebelumnya harus menjadi daerah persiapan selama 3 (tiga) tahun. Maka, berapa APBD Sultra Tahun 2020, atau ABPD 2021 yang digelontorkan di daera
[17.50, 6/12/2020] Distro Rusuli: h cakupan Kepulauan Buton sebagai bentuk kesiapan pemekaran Provinsi, “jangan sampai tidak ada sehingga itu alasan kenapa tidak masuk dalam usulan DPD-RI?”
Namun demikian, ada beberapa tawaran dari penulis terkait mendorong percepatan pembangunan daerah, diantaranya mengusulkan pembentukan daerah/sebagai kawasan khusus. Dalam Pasal (1) angka 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Merujuk Pasal (1) angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009, KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Bagian umum penjelasan UU No.39/2009 tersebut, menyatakan fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain.
Untuk memenuhi KEK, daerah cakupan Kepulauan Buton (Kepton) sangat berpontensi, dengan penggunaan aspal Buton untuk pembangunan infrastruktur pengaspalan pada ruas jalan di seluruh daerah (Permendagri No 64 tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2021), sehingga memiliki kesempatan yang sangat baik daerah khususnya Kabupaten Buton dapat segera diusulkan masuk sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) industri pertambangan/atau pengembangan energi.
Hal ini, dalam rangka mempercepat pencapaian pembangunan ekonomi nasional, maka diperlukan peningkatan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan ekonomi dan geostrategis. Kawasan dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sebagaimana Pasal (10) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, dapat dibentuk untuk beberapa zona; pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, industri kreatif, pendidikan, kesehatan, olah raga, jasa keuangan, dan ekonomi. ketentuan itu mengisyaratkan pengembangan kawasan pariwisata secara umum di wilayah cakupan Kepton sangat memenuhi syarat diusulkan menjadi KEK.
Selain itu, di dalam setiap KEK juga disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. Berdasarkan Pasal (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020, badan/pelaku usaha yang melakukan kegiatan di KEK mendapat fasilitas berupa perpajakan, kepabeanan, dan cukai; lalu lintas barang; ketenagakerjaan; keimigrasian; pertanahan dan tata ruang; perizinan berusaha; dan/atau fasilitas dan kemudahan lainnya.
Pengembangan KEK diarahkan untuk memberikan kontribusi optimal dalam pencapaian 4 (empat) agenda prioritas nasional yang tertuang di Nawacita Pemerintah, yaitu: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor – sektor strategis ekonomi domestik.
Dengan demikian, kalau tujuan pembentukan provinsi Kepton untuk mesejahterahkan masyarakat daerah maka pembentukan KEK juga menjadi alternatif pertama yang dapat diusulkan kepada Pemerintah Pusat. Meksipun nanti pengusulan pembentukan provinsi Kepton akan terus berlanjut.